Senin, 12 Juli 2010

CARA TEPAT MENGANGKAT KITA YANG MELARAT

Sebagian besar anggota KPRI KIPAS adalah guru. Diperkirakan bahwa mereka pernah bercerita kepada murid mereka tentang perlombaan lari cepat antara Kancil dan Siput.
Kancil yang lincah, gesit dan mampu berlari dengan kecepatan tinggi berjumpa dengan Siput yang tidak gesit dan berjalan kelewat lambat. Perjumpaan ini adalah perjumpaan antara dua makhluk dengan kemampuan sangat jauh berbeda. Adalah alami apabila yang merasa lebih cenderung takabur, cenderung sombong. Hanyalah mereka yang benar-benar sadar bahwa kelebihannya pada hakekatnya adalah milik Al-Kholik, Sang Maha Pencipta yang terhindar dari kecenderungan takabur atau sombong.
Ketakaburan dan kesombonganlah yang dalam perjumpaan itu mendorong Kancil mencela dan meremehkan sifat-sifat Siput yang tidak lincah, tidak gesit dan tidak mampu bergerak cepat. Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan, Siput pun tidak begitu saja menerima celaan dan pelecehan akan harga dirinya.
Siput pun menantang Kancil adu kecepatan dalam lomba lari cepat asal lomba itu diselenggarakan di habitatnya.Di sungai. Kancil terperanjat dan tertegun memdengar tantangan itu. Betapa tidak. Siput yang berjalan begitu lambat menantang adu kecepatan dengan dirinya. Tidak logis. Meskipun adu kecepatan itu diselenggarakan di sungai. Ia tertegun, karena kebetulan ia pantang mendekati sungai. Sebab ia sedang mempunyai masalah dengan Buaya.
Beberapa hari sebelum Kancil berjumpa dengan Siput, terjadi angin puting beliung di hutan tempat tinggalnya. Pohon-pohon besar roboh. Diantara pohon yang tumbang itu ada yang menimpa Buaya yang sedang berjamur di pinggir sungai. Buaya itu tidak dapat melepaskan diri dari himpitan pohon yang berada di atas punggungnya.
Kebetulan ada seekor Banteng yang menghampiri Buaya malang itu.
“ Lho, ngapain kamu disini?” tegur Banteng.
“ Saudaraku yang baik budi” sahut Buaya dengan suara lirih.
“ Ketika kemarin ada badai, saya sedang berjemur di tempat ini. Sebatang pohon tumbang menimpa diriku. Saya terjepit tidak dapat lepas dari himpitan pohon ini. Tolonglah saya. Lepaskan saya dari himpitan pohon ini.”
Banteng pun iba melihat nasib Buaya.
“ Baiklah” katanya.
Dengan menggunakan tanduknya yang kuat, disingkirkannyalah batang pohon yang menghimpit Buaya. Namun Buaya tidak beranjak dari tempatnya. Ia tidak pergi kemudian masuk sungai.
“ Banteng saudaraku yang baik budi,” Buaya berkata.
“ Saya sangat berterima kasih akan budi baikmu. Kau telah menolongku dari himpitan batang kayu itu. Terpaan batang kayu itu telah menjadikan tulang punggungku sakit. Saya susah bergerak. Bagaimana kalau kau lengkapkan budi baikmu itu dengan mengantar aku ke tengah sungai tempat tinggalku?”
Tanpa pikir panjang, Banteng pun menyanggupi permintaan Buaya itu.
“ Baik, baik. Yuk saya antar” jawabnya.
Maka masuklah Banteng ke sungai dengan menggendong Buaya di punggungnya. Setelah sampai ditengah sungai, Banteng pun berhenti dan berkata:
“Rumahmu disini, bukan? Turunlah! Sampaikan salamku kepada keluargamu.”
Tetapi Buaya tidak mau segera turun. Ia tetap saja diatas punggung Banteng.
“ Saudaraku Banteng yang budiman“ katanya. Bagaimana kalau kau sempurnakan budi baikmu itu kepadaku?”
“ Lho, apa lagi ?” sahut Banteng agak keheranan.
“ Banteng saudaraku, kau tahu, saya berada di pinggir sungai tadi sejak kemarin. Sejak kemarin itu, tidak sedikitpun daging masuk ke perutku. Aku lapar bukan main”.
“ Kau lapar bukan main. Lalu apa maumu?”
“punukmu ini lho.Bagaimana kalau kau berikan kepadaku, demi kesempurnaan budi baikmu?”
Banteng pun sangat terkejut mendengar permintaan Buaya itu. Buaya yang baru saja ia tolong. Ia selamatkan dari himpitan batang kayu. Ia gendong dan antarkan ke tengah sungai tempat tinggalnya. Sekarang ia minta punuk. Bahagian dari tubuhnya.
“ Bagaimana?” Buaya mendesak.
“ Tunggu, tunggu, tunggu sebentar” jawab Banteng.
“ Sebelum saya memenuhi kehendakmu itu, saya ingin tahu pendapatmu, bagaimana kalau persaudaraan kita berdua kita lestarikan, kita jaga?”
“ Gagasan bagus. Gagasan cemerlang. Saya sangat setuju, saya sepakat bulat.”
“ Kalau kau setuju, bagaimana kalau permintaanmu akan punukku tadi, kita mintakan pendapat pihak lain yang tidak berkepentingan? Pihak yang tidak memihak.Benar tidak permintaanmu itu. Adil tidak. Kalau permintaanmu memang benar dan adil, ya kita terima.Kita sepakati. Kita setujui. Kita kan bersahabat.”
Ketika itu Kancil berada di tepi sungai. Kancil keheran-heranan melihat Buaya di punggung Banteng.
“ Hai Kancil” seru Banteng, “ Tunggu disitu. Saya ingin minta jasamu”.
Banteng dan Buaya menepi menghampiri Kancil. Banteng dan Buaya kemudian menceritakan kejadian yang mereka alami. Setelah diadakan tanya jawab selengkapnya, maka berkatalah Kancil. “ Baiklah, saya akan menolong kamu berdua, dengan memberikan pendapat yang tidak memihak. Pendapat yang adil. Bukankah kamu berdua memerlukan pendapat yang adil itu?”
Banteng dan Buaya pun mengangguk, tanda setuju atau mengiyakan.
“ Akan tetapi pendapat yang adil itu tidak dapat ditentukan secara sembarangan. Untuk mencapai keadilan itu saya perlu melihat betul kejadiannya. Kejadian itu perlu direka-ulang. Atau direkonstruksi. Bersedia tidak kamu berdua mereka ulang peristiwa itu?”
“ Di mana?” Buaya bertanya.
“ Ya di TKP” Jawab Kancil “ Di Tempat Kejadian Perkara.”
Singkat ceritera, peristiwa pun direka-ulang. Dimana dan bagaimana Buaya berjemur. Membujur kemana. Bagaimana batang kayu menghimpit Buaya. Pangkal batang sebelah mana, ujungnya sebelah mana, dan lain sebagainya.
Maka bertanyalah Kancil kepada Banteng.
“ Hai Banteng, betulkah reka-ulang ini persis seperti kejadiannya?”
“ Betul” jawab Banteng.
“ Adilkah ini?” tanya lagi Kancil kepada Banteng.
“ Adil” Jawab Banteng.
“ Sekarang kau Buaya” kata Kancil mengarah kepada Buaya.
“ Hai Buaya, betulkah reka-ulang ini persis seperti kejadiaannya?”
“ Betul” Jawab Buaya.
“ Adilkah ini”
“ Adil” Jawab Buaya mantap.
“ Sekarang, hai Banteng dan Buaya” kata Kancil kepada kedua pihak yang berperkara. “ Camkan benar-benar pernyataan saya. Bahwa saya berpendapat sama dengan kalian berdua bahwa reka-ulang ini benar persis seperti kejadiannya. Pendapat saya ini pendapat yang adil artinya tidak memihak.Titik”
“ Mari kita pergi” ajak Kancil kepada Banteng, meninggalkan Buaya di bawah himpitan batang kayu sebagaimana semula.
Kejadian inilah yang menjadikan Kancil enggan mendekati sungai. Oleh karenanya ia ragu-ragu menerima tantangan Siput berpacu di sungai. Tetapi akhirnya keduanya sepakat perlombaan diselenggarakan di habitat masing-masing. Kancil di darat, di tepi sungai dan Siput di sungai.
Menghadapi lomba itu Kancil bersikap santai. Bagaimana tidak santai. Ia tahu betul kemampuan Siput berjalan. Ia berjalan lambat. Berlari pun tidak akan cepat.
Sebaliknya, Siput bersiap betul menghadapi perlombaan itu. Ia pelajari betul kemampuan dan kelemahan lawan, disamping kemampuan dan kelemahan dirinya.
Kemampuan lawan misalnya Kancil itu lincah, dapat lari cepat. Kelemahannya, ia tidak bakalan mengenal Siput manakah lawan lombanya. Apa lagi kalau Siput berada dalam Sungai. Sementara itu Siput tahu akan kemampuan dirinya. Dia mempunyai banyak teman. Teman Siput yang banyak itu dapat diatur berjajar di sepanjang sungai. Sejak titik start hingga titik finish.Pendek kata Siput yang lemah Siput yang berjalan lambat, tetapi berjumlah banyak bertekat memenangkan lomba. Mereka yakin dapat memenangkan perlombaan kalau potensinya yang lemah tetapi banyak itu dimenej dengan sebaik-baiknya.
Dan menurut ceritera Pak Guru, Bu Guru ternyata Siput dapat memenangkan perlombaan.
Di Jerman, ada sebuah kota bernama Flammersfied. Di pertengahan abad ke-19 Walikota Flammersfied dijabat oleh seseorang bernama Friedrich Wilhelm Raiffeisen. Sang Walikota ini sangat peduli dengan warganya yang tergolong kaum dzu’afa’.Ia mengumpulkan dana dari warganya yang kuat ekonominya. Kemudian dibagikan kepada Kaum Fakir Miskin agar mereka dapat terlepas dari belenggu kemiskinan. Usaha ini tidak berhasil. Usaha ini tidak berhasil mengentaskan orang dari kemiskinan karena jumlahnya yang memang tidak cukup, dantidak sedikit yang ternyata bantuan uang yang diterima mereka pergunakan untuk hidup berboros-boros.
Melihat kenyataan ini, F.W.Raiffeisen mengubah strategi. Dia tidak mengumpulkan dana, tetapi mengumpulkan roti kemudian dibagikan kepada fakir-miskin. Usaha ini juga tidak berhasil. Si Miskin yang mendapat roti, kemudian dimakan dan habis. Dia tetap saja miskin.
Dari kedua pengalaman beliau gagal menanggulangi kemiskinan dengan daya dari luar komunitas Si Miskin sendiri, mulailah beliau berpikir untuk menanggulangi kemiskinan dari kekuatan atau daya Si Miskin sendiri. Mulailah beliau berpikir bagaimana memenej kekuatan Si Miskin sehingga mereka dapat menolong diri mereka sendiri. Berawal dari pemikiran ini lahirlah Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Kredit. Dari pertengahan abad ke-19 dan dari Jerman berkembang Koperasi Simpan-Pinjam keseluruh penjuru dunia.
Alhasil, kalau Siput mampu memenangkan perlombaan berkat manajemen, dan F.W. Raiffesen mampu menanggulangi kemiskinan dengan Koperasi Simpan-Pinjam yang didalamnya terdapat sisi manajemen, tidakkah sepantasnya kita yakin dapat mencapai cita memajukan kesejahteraan anggota antara lain dengan menegakkan fungsi-fungsi manajemen